Wahai saudara-saudaraku, sifat ujub itu bahayanya sangat besar. Seakan-akan seseorang hanya memandang dirinya sendiri atas kebaikan dan keistiqamahan yang ia peroleh, tanpa menoleh kepada Tuhannya, ‘Azza wa Jalla.
Sebelumnya telah kita singgung ucapan Nabi Syu’aib ‘alaihis salam, ketika beliau berdakwah, berjuang, dan bersungguh-sungguh menyeru kaumnya. Beliau berkata, “Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan sesuai dengan kesanggupanku…” Namun beliau kembali mengaitkan niat tersebut kepada apa? Kepada taufik dari Tuhannya. “Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Allah. Kepada-Nya aku bertawakal, dan kepada-Nya aku kembali.” (QS. Hud: 88).
Pada pelajaran yang lalu telah disebutkan beberapa perkara yang membantu seseorang terbebas dari sifat ujub, sebab ujub adalah penyakit yang dapat menimpa manusia, bahkan menimpa orang-orang saleh dalam urusan agama mereka. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.
Terkadang seseorang merasa kagum dengan amal-amalnya, lalu timbul rasa bangga terhadap dirinya sendiri karena amal tersebut. Lalu apa cara yang dapat membebaskan kita dari sifat ujub ini? Menurut saya, jalannya adalah dengan bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Yaitu menjadikan diri sebagai hamba yang senantiasa bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Sebab, ketika seseorang bersyukur kepada Allah, berarti ia mengakui bahwa segala nikmat yang ada padanya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla, dan tidak ada sedikit pun peran dirinya di dalamnya. Maka, barang siapa bersyukur kepada Tuhannya, ia tidak akan merasa kagum terhadap dirinya sendiri.
Cara yang kedua, adalah beriman kepada takdir. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan hal ini dalam firman-Nya, “Agar kamu tidak bersedih atas apa yang luput darimu, dan agar kamu tidak terlalu bergembira atas apa yang diberikan kepadamu.” (QS. Al-Hadid: 23).
Maka, seseorang tidak patut bergembira dengan kegembiraan yang berlebihan, disertai keangkuhan dan merasa lebih tinggi dari orang lain, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan agama.
Diriwayatkan pula dari sebagian ulama Salaf sebuah ungkapan yang telah disebutkan pada pelajaran sebelumnya, wahai saudara-saudaraku: “Penyesalan pelaku maksiat lebih baik daripada keangkuhan pelaku ketaatan.” Penyesalan pelaku maksiat—perkara ini hendaknya benar-benar diperhatikan oleh setiap orang yang berdakwah kepada Allah, juga oleh siapa pun yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Hendaklah ia mengajak dan menyeru dengan penuh kerendahan hati di hadapan Tuhannya. Oleh sebab itu, disebutkan bahwa sikap para Salaf terhadap para pelaku maksiat, dan juga terhadap para pelaku bid’ah, adalah apabila mereka melihatnya, mereka memohon kepada Allah keselamatan untuk orang tersebut, serta memuji Allah karena telah melindungi diri mereka dari cobaan yang menimpa orang lain.
Apabila seseorang melihat orang yang diuji dalam urusan agamanya, ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan keselamatan kepada kami.” Karena hati-hati kita berada di antara dua jari dari jari-jari Ar-Rahman, maka hendaklah ia bersyukur kepada Allah atas keselamatan itu, dan mendoakan saudaranya agar memperoleh hidayah. “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar Engkau memberinya hidayah.”
=====
وَالْعُجْبُ يَا إِخْوَانِي ضَرَرُهُ عَظِيمٌ وَكَأَنَّ الْإِنْسَانَ يَلْتَفِتُ إِلَى نَفْسِهِ فِيمَا حَصَلَ لَهُ مِنْ خَيْرٍ وَاسْتِقَامَةٍ لَا يَلْتَفِتُ إِلَى رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ
وَمَرَّ بِنَا قَوْلُ شُعَيْبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَهُوَ يَدْعُو وَيُجَاهِدُ وَيَجْتَهِدُ فِي دَعْوَةِ قَوْمِهِ حِينَ يَقُولُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ لَكِنَّهُ عَادَ يَلْتَفِتُ عَنْ نِيَّتِهِ إِلَى مَاذَا؟ إِلَى تَوْفِيقِ رَبِّهِ وَمَا تَوْفِيقِيْ إِلَّا بِاللهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
ذُكِرَ فِي الدَّرْسِ الْمَاضِي بَعْضُ الْأُمُورِ الْمُعِيْنَةِ عَلَى التَّخَلُّصِ مِنَ الْعُجْبِ لِأَنَّ الْعُجْبَ دَاءٌ يَا إِخْوَانُ يُبْتَلَى بِهِ الْإِنْسَانُ وَيُبْتَلَى بِهِ الصَّالِحُونَ فِي دِينِهِمْ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
قَدْ تُعْجِبُهُ أَعْمَالُهُ أَحْيَانًا وَيُعْجَبُ بِسَبَبِهَا بِنَفْسِهِ فَمَا الطَّرِيقُ الَّذِي يُخَلِّصُنَا مِنْ هَذَا الْعُجْبِ؟ أَنَا مَا أَشْعُرُ شُكْرُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَوْنُ الْإِنْسَانِ يَشْكُرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
فَإِذَا كَانَ يَشْكُرُ اللَّهَ فَهُوَ مُعْتَرِفٌ بِأَنَّ مَا هُوَ فِيهِ نِعْمَةٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَيْسَ لَهُ فِيهِ أَيُّ شَيْءٍ فَمَنْ شَكَرَ رَبَّهُ يَا إِخْوَانُ مَا يَعْجَبُ بِنَفْسِهِ
الثَّانِي الْإِيمَانُ بِالْقَدَرِ أَيْضًا وَقَدْ ذَكَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِقَوْلِهِ لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ
فَلَا يَفْرَحُ الْإِنْسَانُ فَرَحَ أَشَرٍّ وَبَطَرٍ وَتَعَالٍ عَلَى النَّاسِ سَوَاءٌ فِي أُمُورِ دُنْيَاهُ أَوْ حَتَّى فِي أُمُورِ دِينِهِ
وَأُثِرَ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ مَقَالَةٌ ذُكِرَتْ فِي الدَّرْسِ الْمَاضِي يَا إِخْوَانُ انْكِسَارُ الْعَاصِي خَيْرٌ مِنْ صَوْلَةِ الْمُطِيعِ انْكِسَارُ الْعَاصِي وَهَذِهِ المَسْأَلَةُ يَتَنَبَّهُ لَهَا يَا إِخْوَانُ كُلُّ مَنْ يَدْعُو إِلَى اللَّهِ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يَنْهَى عَنْ مُنْكَرٍ
يَأْمُرُ وَيَدْعُو بِتَوَاضُعٍ بَيْنَ يَدَيْ رَبِّهِ وَلِهَذَا ذُكِرَ أَنَّ طَرِيقَةَ السَّلَفِ مَعَ الْعُصَاةِ وَمَعَ أَهْلِ الْبِدَعِ أَيْضًا أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا رَآهُمْ يَسْأَلُ اللَّهَ لَهُمْ الْعَافِيَةَ وَيَحْمَدُ اللَّهَ إِذْ عَافَاهُ مِمَّا ابْتَلاَهُمْ بِهِ
الْإِنْسَانُ إِذَا رَأَى الْمبْتَلَى فِي دِينِهِ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَافَانَا قُلُوبَنَا بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ فَيَحْمَدُ اللَّهَ عَلَى الْعَافِيَةِ وَيَسْأَلُ لِأَخِيهِ مَاذَا يَسْأَلُ أَخِيهِ الْهِدَايَةَ أَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَهُ